Aku duduk menatap batu nisannya. Menatap nama yang jelas terukir disana. Dina Bety Arutsha. Sahabatku sejak kelas 4 sd telah di panggil kembali oleh tuhan 3 bulan yang lalu. Tragedi yang mengakibatkannya meninggal adalah sepenuhnya salahku. Kenapa aku sangat memaksakan kehendak saat batinnya sedang tersiksa? Benar benar perbuatanku yang paling bodoh.
FLASHBACK ON
“bisakah kau berhenti dari balap liar itu?” sentakku pada dina yang sedang duduk membaca majalah di bangkunya.
“dan apa pedulimu? Bukankah kau telah memutuskan untuk tidak mencampuri urusanku lagi?” tanyanya datar. Pandangan matanya tidak beralih dari majalah yang di pegangnya. Aku menatapnya geram. Dia melirikku dan bangun dari duduknya.
“jangan menatapku seperti itu, Tiara Mentari. Aku benci caramu menatpku!” bentaknya sambil berkacak pinggang di hadapanku. Dia meninggikan suaranya dan membuat semua anak yang ada di kelas menoleh padaku dan padanya.
“Aku masih mengkhawatirkanmu, Dina. Kumohon berhenti dari balap liar itu. Kamu hanya merugikan diri sendiri dan orang tuamu.” Kataku. Suaraku melunak dan pandanganku memancarkan harapan. Dia terkekeh kecil.
“kau tidak perlu mengkhawatirkanku lagi. Dan jangan pernah ungkit tentang orang tuaku. Mereka sudah bercerai dan tidak memperdulikanku lagi. Aku tidak mau semua orang mengkasihaniku. Sudah, kau urus saja urusanmu dengan teman teman barumu itu. Kau juga tidak peduli denganku kan?” katanya sembari meninggikan beberapa oktaf suaranya. Aku menatapnya diam. Dia menyenggolku dann berjalan menjauh. Ku dengar langkah kakinya menjauh dari tempatku berdiri.
“Dina Bety Arutsha, diam di tempatmu!” kataku sambil membalikkan badan menatapnya. Dia menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menghadapku. Memasnag tampang acuh tak acuh.
“ada apa lagi? Cepatlah! Aku tak punya banyak waktu untukmu.” Katanya datar. Kulihat, semua anak yang ada di kelasnya memperhatikan kami berdua. Mereka seperti sedang memperhatikan pertunjukkan.
“aku minta maaf! Aku jarang memperhatikanmu. Aku terlalu egois sehingga jarang menghabiskan waktu denganmu. Kuakui , semenjak kelas kita terpisah , aku memang menjauh darimu . aku minta maaf!” kataku sambil menangis.
“bagus kalau kau sadar!” katanya datar. Dia bahkan tak mengubah raut wajahnya sama sekali.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku salah! Aku masih meperdulikanmu, Dina. Aku kahawatir padamu jika kau terus terusan mengikuti balap liar itu. Kumohon , berhentilah!” kataku. Air mataku semakin deras membasahi pipi.
“semudah tiu kamu bicara, sungguh munafik! Dimana kau saat aku mebutuhkanmu? Kau dengan teman teman barumu! Senang-senang di belakangku dan mulai tidak memerhatikanku. Kau anggap aku apa? Sampah ? ha?” sentaknya. Aku henya menangis sambil menatapnya.
“aku butuh kamu, Tiara! Saat kedua orang tuaku berpisah , saat itu juga aku hancur. Dan saat kau menjauh perlahan dariku , saat itu juga aku berantakan! Seperti tidak ada lagi yang peduli denganku. Sudah akhiri saja! Persahabatan yang kita rajut selama ini. Percuma! Hanya menyiksa batinku.” Bentaknya dengan mata berkaca-kaca. Aku masih tetap diam menatapnya. Mulutku beku dan tak bisa menjawab. Aku tau memang semua ini salahku. Aku menjauh darinya. Aku sadar itu sekarang. Dia membalikkan badannya dan melangkah keluar kelas. Aku tak dapat mencegahnya. Lidahku kelu. Saat dia di ambang pintu kelas, dia balik menatapku.
“Hapus air mata palsumu! Aku benci itu!” sentaknya sambil berjalan keluar kelas. Kini, dia sudah lenyap dari pandangan. Aku berlari keluar dari kelasnya dan menyusuri koridor sekolah menuju toilet. Berdiri di kaca besar toilet sambil memperhatikan pantulan diriku di cermin.
“Aku bodoh! Semua ini salahku. Dina membenciku! Aku telah menyia-nyiakannya. Sungguh bodoh!” makiku pada diriku sendiri. Aku berusaha meredakan tangisanku. Sampai akhirnya bel pelajaran berbunyi , aku kembali ke kelas dengan mata sembab.
***
Malam ini hujan turun cukup deras. Jalanan sepi , hanya beberapa kendaraan yang melitas. Aku duduk di beranda rumah sambil meratapi kejadian siang tadi di sekolah. Sungguh sangat kusesalkan kejadian tadi siang. Aku egois dan sangat memaksakan kehendak. Aku juga sadar, aku sedikit jauh darinya saat aku dan Dina terpisah kelas. Dan aku sangat geram ketika aku mengetahui dia mengikuti balap liar. Aku marah saat aku mengetahui Dina seperti itu. Sebenarnya salahku. Aku jarang memperhatikannya dan cuek kepadanya. Memang semuanya salahku.
Aku menangis menerima kenyataan ini. Aku sayang padanya. Dina yang hangat dan selalu ada saat aku butuh. Selalu menghibur saat aku sedih , dan selalu menenangkanku saat aku galau. Aku merindukan saat saat bersamanya. Sungguh!
Sekarang pukul setengah sepuluh malam. Sudah sejam aku duduk disini. Memperhatikan jalanan yang mulai sepi. Hujanpun tak kunjung berhenti. Tiba tiba saja, pandanganku terpaut kepada seseorang yang sedang berjalan , sepertinya akan menuju rumahku. Samar samar kulihat, dia seperti Dina. Dan saat orang itu mendekat, dia benar benar Dina. Tubuhnya basah kuyup dan menggigil. Aku khawatir mendapatinya seperti itu. Tapi, aku juga senang dia datang ke rumahku malam ini.
“Dina! Cepat kemari! Kenapa kau hujan-hujanan. Tubuhmu jadi menggigil kan?” kataku sambil menuntunnya masuk menuju beranda rumahku. Dia hanya tersenyum tipis sembari duduk di bangku yang ada di beranda rumahku.
“tunggu sebentar ya, aku ambilkan handuk dulu.” kataku sambil beranjak masuk ke dalam rumah. Namun, Dina mencegahku. Dia menarikku untuk duduk di sebelahnya. Saat tangannya menyentuh pergelangan tanganku, kurasakan dingin teramat sangat menyusup melalui sarafku. Aku menuruti permintaannya.
“Aku hanya ingin minta maaf tentang semua sikapku tadi siang. Aku khilaf. Aku sayang padamu, Tiara. Kumohon maafkan aku.” Katanya sambil tersenyum lemah. Aku tertegun kaget. Lalu tersenyum hangat padanya.
“Aku juga minta maaf aku terlalu egois dan terlalu mementingkan urusanku sendiri. Aku tidak bisa membagi waktu dan melupakanmu. Aku juga minta maaf.” Kataku sambil memeluk tubuhnya yang dingin itu. Dia tak menjawab apapun , hanya membalas pelukanku.
“tunggu sebentar. Aku ambilkan handuk dan coklat panas dulu. Tunggu sebentar ya?” kataku sambil beranjak masuk. Dina hanya mengangguk lemah sembari tersenyum tipis. Dengan cepat , aku membuatkannya segelas coklat panas dan membawakannya handuk yang cukup besar. Saat melewati ruang tamu, kulihat kakak perempuanku sedang duduk di sofa dalam keadaan basah. Dia baru pulang kerja sepertinya.
“Hey, kak!” sapaku riang. Kakakku menatapku aneh.
“itu untuk siapa, Tiara?” tanya kakakku sambil menunjuk coklat panas yang kupegang.
“untuk Dina, kak. Kakak sudah bertemu dengannya?” tanyaku sembari tersenyum. Kakakku mengernyitkan dahi dan menatapku penuh kebingungan.
“Dina ada disini? Kakak tidak melihatnya di depan.” Kata kakakku sambil menunjuk ke arah teras. Aku membulatkan mataku dan menaruh segelas coklat beserta handuk di atas menja ruang tamu. Dengan cepat aku berlari ke luar rumah. Tidak ada Dina disana. Aku berlari ke halaman , tidak kudapati juga Dina disana. Kemana dia? Kenapa pergi tak pamit padaku? Aku menggerutu dan berjalan kembali menuju rumah.
“Ada?” Tanya kakakku. Aku menggeleng memasang wajah cemberut.
“mungkin sudah pulang.” Kata kakakku enteng.
“tapi, dia tak pamit padaku kak.” Jawabku sambil menghempaskan diri ke sofa.
“mungkin dia sedang terburu-buru. Coklatnya buat kakak ya?” tanya kakakku lagi. Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan.
***
Aku baru saja sampai di sekolah. Namun, suasana duka telah menyambutku. Banyak karangan bunga di halaman sekolah. Sekolah juga sepertinya sepi. Apa hari ini sekolah libur? tapi kemarin tidak ada pengumuman sama sekali. Aku mulai melangkah masuk melewati lapangan basket. Dan memang benar. Sekolah sepi. Hanya ada beberapa gadis yang kukenal sedang menangis.
“Hey Joya, Rita, Shely!” panggilku sekeras mungkin. Mereka menoleh dan menghambur memelukku sambil menangis.
“eh , ada apa?” tanyaku heran saat mereka bertiga menangis sesegukan.
“Dina…. Dia meninggal akibat kecelakaan semalam.” Kata Joya sambil menghapus air matanya.
“kau membohongiku? Dina semalam ke rumahku.” Kataku memasang raut bingung. Mereka semua menatapku tak percaya.
“jam berapa Dina ke rumahmu?” tanya joya. “Sekitar setengah sepuluh malam.” Jawabku enteng.
“Itu tidak mungkin! Dia kecelakaan jam 8 malam. Dan dia meninggal di tempat kejadian.” Kata Rita.
“kau bercanda?” tanyaku heran. Mereka bertiga menggeleng mantap.
“dia sedang balapan di tengah hujan. Mungkin karena jalan licin, motornya oleng dan tergelincir. Dia terpental jauh dan dipastikan meninggal saat itu juga.” Kata Rita lirih. Air matanya tumpah seketika itu juga. Kakiku lemas. Aku terjatuh di lapangan basket. Joya menatapku dan memelukku erat. Aku langsung menangis sejadi-jadinya. Jadi, semalam yang mengutarakan permintaan itu arwahnya? Ya tuhan… mengapa kau tak adil padaku? Mengapa kau mengambil sahabat yang paling ku sayangi?
FLASHBACK OFF
Aku menaburkan bunga di atas tanah makamnya. Air mataku menetes. Aku benar benar merindukannya. Sangat merindukannya. Dan hanya satu hal yang bisa ku utarakan. Aku sayang padamu, Dina Bety Arytsha. Kau tetap akan menjadi sahabatku sampai kapanpun.
The End